Jati diri - part 2

Prinsipnya sama, kalau Anda melakukan ”ini”, maka Anda akan menjadi seperti ”itu”, dimana ”itu” didefinisikan sebagai ”bahagia”, ”sukses”, atau bahkan ”gaul”. Saya tidak dan tidak berhak bilang itu salah, atau bahkan untuk menyebutnya kurang tepat. Hanya saja, sepanjang hidup saya sejauh ini, saya tidak terlalu menemukan kecocokan dengan hal-hal itu. Mungkin memang sejatinya caranya tidak seperti itu, atau mungkin memang saya yang berbeda. Satu diantara dua, saya tak tahu, mungkin Anda yang akan mengerti jawabnya.

Dalam pewayangan jawa, Gatotkaca harus diceburkan dahulu di kawah Candradimuka dengan berbagai pusaka sebelum berkekuatan setengah dewa. Dalam pembuatan musik dan lagu, nada-nada harus diperdengarkan dahulu, dihapus dan diganti, ditulis kembali, sebelum alunannya mampu membuai indra kita. Dalam pembuatan kue, adonan harus dimasukkan dalam oven dahulu, sebelum menjadi santapan yang lezat di lidah. Bahkan dalam permainan videogames, seseorang harus melalui level-level yang tak mudah, sebelum akhirnya mampu mencapai tingkat yang mendekati sempurna.

Di dunia ini, Allah Al-Khaliq menciptakan semua makhluknya bukan tanpa alasan. Seluruh dzat, seluruh entitas, seluruh eksistensi di dunia ini, diciptakan untuk tujuan tertentu. Saya ingin mengatakan, Allah Maha Efektif, tapi saya tak yakin termasuk dalam nama baik Allah yang manakah ”efektif” itu. Satu yang saya tahu, ”qun fayaqun”, bukanlah barisan huruf sembarangan yang akan begitu saja disia-siakan olehNya untuk menciptakan sebuah makhluk tanpa arti.

Manusia, sebagai makhluk yang katanya relatif paling sempurna dari yang lain, tentu saja mempunya tugas yang ”paling sempurna” pula. Islam menyebutnya, ”ahsani taqwi wal khalifatul fil ardhi”, insan yang takwa dan khalifah di muka bumi, dimana takwa dan khalifah sendiri masih mempunyai definisi yang tak kalah luas. Saya tak merasa lebih tahu mengenai hal ini, dan mungkin tak akan pernah lebih tahu.

Namun yang jelas itu tak jadi masalah, karena saya tidak akan membahasnya di sini. Sekali lagi, bukan tempat saya untuk membicarakannya.

Apapun sebenarnya tugas manusia, saya tahu satu hal pasti tentang tugas-tugas itu. Sebagaimanapun ”sempurna”nya kita, belajar adalah satu esensi kehidupan yang tak boleh kita lupakan. Belajar dari Gatotkaca, belajar dari alunan musik, belajar dari lezatnya kue, belajar dari videogames, belajar tak kenal tempat dan waktu. Lebih jauh lagi, belajar tak kenal dimensi. Sebuah refleks abstrak yang tak termasuk dalam fisiologi, anatomi, ataupun neurologi, seluruh makhluk yang mempunyai sel kehidupan diciptakan untuk belajar. Tak peduli kapan, dimana, atau bagaimana.

Belajar dari kehidupan, hal ini yang ingin saya katakan sebenarnya. Entah kenapa, walau saya yakin saya baru merasakan sedikit asam garam, pahit getir, manis, ataupun segarnya air kehidupan, saya percaya bahwa jati diri bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan sebuah proses dan cara yang dapat didefinisikan dengan spesifik. Jati diri bukanlah sebuah produk dari sebuah reaksi kehidupan dengan katalis langkah-langkah tertentu dan bahan-bahan instan dari lingkaran sosial ataupun personal kita. Jati diri bukanlah perkara sepele yang bisa dicapai dengan menapaki “tangga menuju kesuksesan” khas dunia modern. Bukan juga perkara sangat pelik yang hanya bisa dpecahkan dengan buku manual setebal 2000 halaman. Menariknya, hal ini bisa saja menjadi masalah sepele kalau seseorang berpikir terlalu pelik, dan bisa saja menjadi masalah pelik kalau seseorang berpikir terlalu sepele. Ia tak akan muncul saat diinginkan, melainkan dengan sendirinya akan membimbing kita saat dibutuhkan. Bagai anomali air, tak lain dan tak bukan, anomali kehidupan.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Jati diri - part 2"

Posting Komentar