Kukutuk diriku sendiri, sang syaitan

Hari ini, 12 Januari 2010. Tak ada yang spesial sebenarnya. Cuma satu yang spesial : tepat 5 bulan sudah aku di kota ini, Zionsville. Tak ada yg berubah, tak ada yang terlalu signifikan, selama 5 bulan ini. Bahkan diriku, masih saja terlihat sama seperti dulu. Pendek, berkacamata, bermuka serius. Rambutku saja yang mungkin lebih panjang. Maklum, potong rambut mahal. 150 ribu sekali potong. Mau tak mau pilih panjangkan rambut saja kan? Lagipula, kesempatan sekali seumur hidup bisa punya rambut panjang di masa SMA tanpa kena razia rambut panjang di sekolah. Dasar.

Pagi ini aku bangun, sekelumit pikiran terlintas di benakku. Belum mengerjakan pr bahasa prancis dan belum belajar untuk test kasus forensik. Berangkat ke sekolah aku masih ngebut belajar kasus forensik yang diberikan guruku minggu lalu. Dasar pemalas, aku mengutuk diriku pagi ini. Sekolah terasa hambar hari ini. Tak ada semangat apapun pada diriku, mengerjakan pr bahasa perancis pun kulakukan saat pelajaran bahasa spanyol. Kukutuk diriku lagi, dasar, tak punya otak.

Ting, bel pulang berbunyi. Aku ingat, hari ini ada pertemuan best buddies dan robotics. Tak ada gairah dalam diriku untuk datang ke kedua kegiatan itu, yang biasanya aku punyai, bulan lalu. Aku bahkan berpikir untuk keluar dari Best buddies, karena aku bahkan baru satu kali ikut pertemuannya, dan tak pernah aktif. Kuhitung-hitung, sudah 3 klub aku keluar. Kukutuk lagi diriku, dasar rakus, tahu rasa kau.

Kuputuskan akhirnya, berlari menuju bus sekolah. Tak peduli robotics, best buddies, ato apalah semuanya hari ini. Aku hanya ingin pulang ke rumah, mungkin bermain Final Fantasy dengan hostbrotherku, kemungkinan besar hanya buka internet, Facebook dan Email. Kukutuk lagi diriku, dasar pemalas.

Sesampainya di rumah, kujustifikasi perbuatanku. Kukatakan pada diriku sendiri, “I’m just so off for school-related things this week, it’s the final week of the semester.”. Kukatakan pada diriku, aku hanya ingin menyelesaikan minggu ini, dan kembali fresh minggu depan. Tak lupa ku telepon hostmom, dan kukatakan semua yang baru saja kukatakan pada diriku sendiri. Kukutuk lagi diriku, dasar tukang cari alasan, bilang saja kau malas.

Benar, ku langsung berlari ke komputer, membuka facebook dan email. Baru kusadar beberapa saat kemudian, aku belum membuat schedule kegiatan bulan Januari yang sudah berkali-kali diminta oleh hostmomku. Takut akan membuatnya kecewa lagi, aku langsung berlari ke kamar, mengambil organizerku, melihat email-email kegiatan yang masuk, dan segera menyusun jadwal bulan Januari. Kubuat jadwal dengan sesempurna mungkin, supaya hostmomku senang. Kukutuk diriku lagi, dasar penjilat.

Hey, hostmomku datang, 4.30 pm kalau tak salah. Langsung ku print jadwal yang telah kubuat, ku berlari menuju hostmomku, dan menyerahkan schedule ku. Melihat wajahku yang entah kenapa mungkin menyiratkan kesedihan atau kelelahan, dengan simpatiknya beliau menanyakan keadaanku. Kujawab, ”Nothing, i’m okay”. Beliau menggelengkan kepalanya, bersikeras bahwa keadaanku tak baik, dengan bukti wajahku, yang kata beliau juga sama kemarin. Kujawab lagi, ”No, really. I’m fine. Probably just the rest of the feeling after break.”. Akhirnya beliau mengiyakan, tak lupa menawarkan untuk menelepon orangtuaku, kalau-kalau aku homesick. Aku pun menjawab, baru saja ku email orang tuaku, jadi aku baik-baik saja. Beliau mengiyakan dengan senyum. Kukutuk lagi diriku, dasar kurang ajar, pembohong.

5.03 pm, kulihat jam di kamarku. Lalu kulihat jadwal waktu sholat yang kuprint dari IslamicFinder.com. 5.41, waktu maghrib, dan aku belum sholat ashar. Crap, kukutuk diriku lagi, sudah lupa kau sholat, dasar pendosa. Ku ambil air wudhu, pikiranku melayang kemana-mana. Kuhanya sekedar menyentuhkan air ke lubang hidung, tanpa memasukkannya seluruhnya ke lubang hidung, seperti yang seharusnya. Tak yakin pula apakah aku sudah mengucapkan niat sebelum wudhu, jadi ku gumamkan lagi saja niat itu selama wudhu. Kukutuk diriku lagi, dasar pelupa.

Ku bersiap melakukan sholat, menggelar sajadah, meraih baju koko yang tergeletak di atas koperku, kumal. Terdengar sesuatu di pikiranku, dasar tak rapi. Kuucapkan niat, lalu melakukan sholat seperti biasa. Berdiri di rakaat kedua, diriku tak yakin apakah sudah melakukan duduk diantara dua sujud di rakaat pertama. Pikiran ku melayang kemana-mana, tak konsentrasi. Akhirnya kuputuskan untuk membatalkan sholat. Kukutuk diriku lagi, dasar bodoh. Kumulai lagi sholatku, niat lalu takbir, dan seterusnya. Kali ini diriku bahkan sudah berpikiran kemana-mana sejak rakaat pertama, dari mulai pelajaran sampai sebagai duta bangsa. Pikiranku kacau, tak bisa membaca Al-Fatihah dengan benar, terbata-bata ku membacanya di dalam hati. Terasa mau meledak, kuputuskan untuk membatalkan sholat. Lagi. Kukutuk diriku lagi, dasar bodoh, dasar bodoh, 2 kali.

Kuucapkan astagfirullah dalam-dalam, lalu kumulai lagi sholatku, kali ini aku betul-betul serius. Semua lancar, sampai rakaat terakhir, entah kenapa terlintas di pikiranku bahwa aku tak melakukan duduk tahajud pertama. Terjadi pertentangan di pikiranku, antara melakukan sujud sahwi atau tidak. Kacau antara doa dan pikiran, akhirnya aku berhasil menyelesaikan sholatku lengkap, walau tanpa sujud sahwi. Kuingat-ingat lagi dengan fokus, apakah aku sudah duduk tahajud awal. Akhirnya ku yakin, aku sudah melakukannya. Pikiran itu hanya mengacaukan sholatku saja, mengurangi nilainya. Kukutuk diriku lagi, dasar bodoh, dasar bodoh, dasar bodoh, 3 kali.

Kuucapkan doa-doa pendek dan wirid. Sampai tiba-tiba aku berhenti, membatin.



Kuucapkan pada diriku sendiri. Sudah cukup, lelah ku mengutukmu. Kau mau jadi muslim atau tidak, sih?


Tes.

Air mataku menetes.

Entah kenapa detik itu juga aku merasa hina. Ya, hina. Bukan jelek, buruk, atau yang lain. Hina, sehina-hinanya. Tak kuat rasanya diriku untuk berdoa kepada Allah yang Maha Mulia. Bergetar, hati ini.

Kugerakkan bibirku itu dalam isak tangis dan jerit hati. Jadikanlah hamba Muslim, ya Allah, Jadikanlah hamba Muslim, ya Allah. Hanya itu yang kukatakan kepadaNya, mungkin. Ku merasa diriku masih sangat rendah untuk dibilang Muslim. Ku merasa sebutan ”Muslim” terlalu indah untukku. Menilik definisinya, seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah serta tunduk dan patuh kepada segala hukumnya.

Ditengah doaku, ku hujat diriku sendiri. Ku hujat diriku atas ketakutanku atas hal lain selainNya, ku hujat diriku atas sholatku yang tak sempurna, ku hujat diriku atas kegagalan tugasku di dunia, bahkan tugas sebagai seorang duta bangsa. Ku menangis sejadi-jadinya. Ku hujat diriku bahkan atas kenyataan bahwa aku pun tak tahu apakah air mata ini hanya air mata buaya atau bukan. Ku hujat diriku atas kenyataan bahhwa aku pun tak yakin aku akan berubah setelah doa yang menyayat hatiku ini.

Ku mohon pertolonganNya. Ku mohon pertolonganNya dari godaan syaitan. Ku mohon bimbinganNya agar diriku selalu berada di jalanNya, ku mohon bimbingannya agar diriku selalu beribadah kepadaNya, ku mohon bimbingannya agar ibadah dan Islam tidak lagi menjadi kewajibanku, melainkan kebutuhanku. Ku mohon lindungannya dari segala godaan dunia, ku mohon lindungannya dari hawa nafsu yang buruk, ku mohon lindungannya agar diriku selalu ingat kepadanya, ku mohon lindungannya dari diriku sendiri. Aku hanya memohon dan memohon, sampai aku berhenti. Menghirup nafas. Menenangkan diri.

Aku meratap, menggumamkan kata-kata tak jelas di tengah isak tangisku.

”Ya Allah, hamba takut. Hamba takut ya Allah, takut akan diri hamba sendiri yang tak mampu patuh kepadaMu. Hamba takut, ya Allah...”

Aku sadar, mengapa kukutuk diriku sendiri berkali-kali, hari ini. Mengapa, ku takut akan diriku sendiri, hari ini.

Musuh terbesar itu, ada dalam diriku. Syaitan itu, ternyata bersemayam di sini.

Audzubillahiminassyaitonir
ojim, bismillahirrahmanirahim. Ya Allah, aku tak akan membiarkannya mengontrolku lagi. Tak akan. Lagi.


Seorang Hamba
Zionsville, IN

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Kukutuk diriku sendiri, sang syaitan"

Posting Komentar