Jati diri -- part 1

Minggu ini saya sedang menjalani ulangan semester, atau di sini lebih dikenal dengan "finals". Hari ini hanya ada 1 pelajaran, French, sementara besok ada 3 pelajaran dan besoknya lagi juga 3 pelajaran. Seharusnya saya sekarang belajar, apalagi karena besok pelajaran yang akan saya hadapi bukan main-main, forensic science dan honors physics. Namun, nyatanya saya sekarang duduk di sini, di depan komputer saya, entah kenapa merenungi hal yang tiba-tiba muncul di kepala saya. 4 bulan tinggal di sini, sekitar 10000 mil jauhnya dari rumah, saya berpikir banyak tentang diri saya sendiri, alih-alih sibuk mengagumi kesempurnaan negeri Paman Sam. Antara pikiran dan kenyataan, saya mencari ”jati diri”.

Jati diri itu sesuatu yang kompleks. Bukannya bermaksud meremehkan para motivator yang sudah melanglang buana dan mendengungkan jargon-jargon jurus jitu menggapai jati diri, tapi setidaknya itu yang saya rasakan di pertengahan tahun ke 17 dalam hidup saya. Sebagai representasi, ekspresi, dan eksistensi, jati diri bagaikan "missing piece" dalam diri setiap entitas yang menjalankan roda kehidupan, baik disadari ataupun tidak. Menilik beberapa nama terkenal, jati diri bahkan bukan lagi hal sepele yang sekedar akan terombang-ambing dalam satu tahap kehidupan bertajuk "remaja", tapi lebih dari itu, jati diri adalah sebuah alat, alat sempurna yang jika dimanfaatkan dengan efektif, mampu menghasilkan sesuatu yang tak biasa. Tengok saja salah satu wali terkenal di Jawadwipa, yang bahkan sampai sekarang mungkin masih membingungkan banyak orang, atas kekuatan "jati diri"nya. Ya, saya menyebutkan Syekh Siti Jenar. Terlepas dari kontroversi atas sesat-tidaknya ajaran beliau, dengan ajaran "manunggaling kawula gusti" beliau telah menunjukkan satu contoh sempurna bahwa dengan penafsiran jati diri yang maksimum, manusia mampu mencapai tataran "ma'rifat", dimana bahkan definisi "jati diri" itu mungkin sudah luruh.

Oh, tenang saja. Saya tak akan, bahkan sama sekali tak berniat untuk membahas Syekh Siti Jenar, apalagi ajarannya. Hanyalah setitik debu, saya ini, apabila dibandingkan gurun pasir ilmu yang dimiliki oleh para Syekh termasuk beliau. Apalagi bila dibandingkan dengan seluruh materi di jagat raya ini yang jelas milik Allah Maha Pencipta, Tuhan segala makhluk. Saya di sini ingin berbicara tentang sebuah abstrak yang sejatinya ingin diraih oleh seluruh insan, "jati diri".

Sekali lagi, jati diri mungkin sudah jadi komoditas yang sedang laris-larisnya di tengah dunia yang tengah gonjang-ganjing ini. Bagaikan sebuah mutiara berkilauan di dasar laut yang gelap, jati diri sekarang seperti kue yang dapat dibuat dengan melalui beberapa proses sederhana dan penambahan zat-zat pendukung yang didapat dengan sederhana pula. Pelatihan, penataran, seminar, penyuluhan, dan berbagai ”shortcut” lainnya menjamur di mana-mana, membawa janji untuk para manusia yang kehilangan arah : jalan menuju penemuan jati diri, yang sekarang mungkin lebih sering dikatakan dengan istilah-istilah modern, dari bahasa sains khas psikolog, bahasa bisnis khas para milyuner, sampai bahasa gaul khas remaja. ”Healthy soul”, ”membangun diri menuju sukses”, sampai ”anak gaul”, semua berbeda, tapi pada akhirnya tetap berdasar pada hal yang sama.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Jati diri -- part 1"

Posting Komentar